Sekolah Calon Ulama, Pendidik, & Pemimpin Pendidikan 6 Tahun

EN / GB

Dakwah di Musim Sakura

Oleh Ahmad Tino

21 April 2024

'}}

Oleh: Faiz Fahrezi

Bagi banyak orang, Jepang merupakan negeri impian yang harus dikunjungi minimal sekali seumur hidup, sekurang-kurangnya dalam rangka berlibur dan wisata. Hipotesis ini tentu tak berlebihan, menimbang Jepang adalah negara yang serba-serba. Terlebih bila mengunjungi negara ini pada periode Maret hingga April, saat bunga-bunga sakura sedang bermekaran, serempak di seluruh tanah Jepang. Namun, apa jadinya bila berkunjung ke negara ini dalam rangka berdakwah? Hah, dakwah?

Ramadhan Kareem!

Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta kembali mengirimkan santri-santrinya dalam kegiatan Muballigh Hijrah Nasional dan Internasional selama bulan suci Ramadan 1445 Hijriah. Kegiatan tahunan ini merupakan agenda penting bagi santri-santri untuk melek terhadap tantangan dakwah nasional dan global.

Santri-santri diterjunkan di berbagai wilayah di seluruh sebaran tanah air yang mana disebut sebagai program Muballigh Hijrah Nasional dan diaspora ke sejumlah negara, sebut saja Malaysia, Thailand, Taiwan, hingga Jepang yang mana disebut sebagai program Muballigh Hijrah Internasional.

Adalah kami, Faiz (17), Azzam (16), Aflah (16), yang masing-masing ditugaskan di Tokyo, Hiroshima, dan Fukuoka kurang lebih sebulan selama Ramadan. Bagi penulis, pengalaman ini tiada tanding, bukan hanya pertama kali menjalankan puasa di luar negeri, tapi juga pertama kali ke luar negeri.

Masing-masing punya tugas yang beragam, dengan medan yang beragam pula. Sebagaimana normalnya setiap santri ditugaskan, kami juga menjalankan tugas-tugas normatif seperti imam salat dan kultum. Adapun selebihnya, insidental saja.

Di Hiroshima, Azzam bertugas sebagai dai di Masjid Mihara. Kawasan ini bolehlah dikata sebagai wilayah perkampungan. Desa permai dengan pemandangan asri yang menakjubkan. Rumah-rumah luas berjarak antar bangunan. Arsitektur khas ala Jepang zaman pra-modern. Apalagi sakuranya, kawai!

Azzam disambut oleh Bapak Tarmizi dan Ibu Ida, tuan rumah merangkap pengurus Masjid Mihara. Sehari-hari, Azzam menjalankan tugas sebagai marbot dan penunggu kedai. Azzam terkadang masak sendiri. Meski jamaah masjid ini relatif sedikit, Azzam tidak pernah berkecil hati. Maklum, jamaah kawasan ini memang banyak diisi oleh para pekerja. Siang bekerja, malam melepas penat. Salat subuh saja tak ayal hanya diisi 2 hingga 3 orang jamaah.

Barulah masjid ini ramai pada hari libur, ramai orang Medan katanya: "Di sini hampir semua orang Medan, bahasanya mirip-mirip, intonasinya tinggi mendaki. Beranak-pinak mereka di sini." Tutur Azzam.

Adapun Fukuoka, Aflah bertugas di Kitakyushu Islamic Cultular Centre. Tidak seperti Masjid Mihara, bangunan KICC ini hanya sepetak rumah yang dialihfungsikan sebagai masjid.

Daerah tepi kota, butuh beberapa waktu menuju ke pusatnya. Aflah ditugaskan sebagai imam salat rawatib dan tarawih. Masjid ini terkadang ramai oleh mahasiswa asing dari berbagai negara yang sedang melanjutkan studi di Kitakyushu University. Tidak ada tugas khusus yang dilimpahkan, selebihnya santai saja, "Saya paling santai" Tutur Aflah kepada kami saat berkisah.

Aflah banyak berinteraksi dengan mahasiswa dari beragam kultur. Sehari-hari menyimak pengalaman banyak orang tentu saja menarik. Semakin jauh pergaulan, semakin jauh pula cakrawala. Di akhir masa bakti Aflah bahkan diminta untuk menjadi imam dan menyampaikan khutbah salat id. Di tengah kesibukan warga dan masyarakat di daerah minoritas muslim di Jepang, kehadiran Azzam dan Aflah tentu saja sangat dinanti.

Alhamdulillah, tugas tuntas terlaksana. Sugoi!

Tokyo: Japan's Heartbeat

Akan lebih mudah bila penulis berkisah tentang pengalaman sendiri. Tokyo punya pesona istimewa. Penulis bermukim di rumah Ibu Gina Farida dan Bapak Muhammad Fauzan Yazid yang saat ini merupakan permanen residen di Jepang. Hampir semua kegiatan berpusat di rumah beliau.

Rumah kecil ala perkotaan yang disulap sebagai markas dakwah komunitas muslim yang dinaungi di bawah Ainul Yaqiin Foundation. Setiap hari, penulis bertugas sebagai imam salat rawatib dan tarawih. Jamaah di rumah beliau terhitung ramai, dengan berbagai kegiatan harian.

Khusus untuk anak-anak, mereka punya wadah belajar iqra yang dilaksanakan hampir setiap hari, bahkan mereka sempat mengikuti program pesantren kilat yang diadakan atas kerjasama Ainul Yaqiin Foundation, Dompet Dhuafa Jepang, dan Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Empat hari mereka jalani dengan banyak aktifitas: menonton kisah sahabat, berlatih lagu islami, mengerjakan handcraft, belajar iqra dan quran, bahkan di hari terakhir mereka dibiarkan berpesta ria di taman. Bila berinteraksi dengan anak-anak, terkadang sulit mencerna mereka berbahasa jepang. Mereka antusias bila dirasa ada kalimat yang kurang pas bila penulis bertutur, hitung-hitung sekalian belajar dan praktik. 40 lebih jumlah mereka, ramainya oh ramainya.

Ibu-ibu tak mau kalah. Mereka selalu meminta belajar quran, pagi, siang, bahkan hingga larut malam. Seusai tarawih dan jamuan malam, berbondonglah mereka minta untuk disimak, bergilir hingga semua usai. Berlanjut dengan obrolan ringan dan berat, hampir setiap hari.

Walau lelah bergelayut, mata terkantuk-kantuk, jam menunjukkan pukul setengah satu, tak tega rasanya hendak menyela dan izin pamit untuk beranjak tidur. Setiap malam terngiang buah kata Jenderal Soedirman: "Jadi kader Muhammadiyah itu berat, kalau bimbang dan ragu lebih baik pulang!"

Terkadang Pak Yazid meminta untuk dibantu urusan rumah. Bersih-bersih, buang sampah, sedot karpet, macam pembantu jadinya. Ibu Gina sehari-hari bergelut di dapur, dibantu kaum ibu yang tentu saja merindukan suasana semacam itu. Soal makanan tidak perlu risau, semua halal dan autentik masakan Ibu Gina.

Jadwal makan di sini terhitung sejak tiba waktu berbuka, hidangan pra-tarawih, jamuan pascatarawih, dan waktu sahur. Belum lagi bila banyak makanan belum habis. Salah satu tugas yang penulis paling minati: Menghabiskan semua makanan hingga tak bersisa. Tempat Pembuangan Makanan (TPM).

Jamaah Ainul Yaqiin terbilang ramai, datang dari berbagai belahan dunia. Mister Bilal asal London, Aisha-San asal Filipina, dan banyak lagi jamaah dari Jepang, Sri Lanka, Pakistan, India, Malaysia. Jamaah Indonesia tidak perlu ditanya, mendominasi. Kisah mereka bermacam-macam, banyak suka duka. Panjang narasi bila hendak diteruskan. Selalu senang bisa mengobrol dan bercanda dengan para jamaah, walaupun candaan dan celetukannya seperti yang Gen-Z selalu bilang: Jokes Bapak-bapak.

Namun di tengah banyak kesibukan itu, penulis tetap menyempatkan untuk berkeliling Tokyo. Terkadang diantar via mobil, lebih sering via kereta lokal. Tiada hari tanpa berkelah. Apalagi ditemani Doktor Cutra Sari, Dai Ambassador Dompet Dhuafa Jepang, lupalah kami akan waktu. Butuh banyak lembar khusus untuk menadah kisah healing kami. Bila butuh tour guide daerah Tokyo, sila hubungi kami.

Dalam rihlah-rihlah itu; kereta berganti kereta, gerbong demi gerbong, kami belajar banyak hal. Hening kereta bisa saja multimakna. Kereta pagi ditumpangi para pekerja dan pegawai kantoran yang hanya terlelap beberapa waktu saja di malam hari. Kereta malam diisi para pekerja dan pegawai kantoran yang penat kerja lembur bagai kuda. Tokyo benar-benar merepresentasi Jepang. Bila hendak menulis sisi gelap Tokyo, bukan di sini tempatnya.

Sobat-sobatku sekalian, ternyata Jepang tidak seindah yang tersuguh dalam film-film anime itu. Belum bicara soal dakwah para pegiat dan pejuang islam di Jepang. Lebih penat lagi. Ibu Gina melalang lintang 40 tahun lebih lamanya untuk menyebarkan Islam, sekurang-kurangnya guna mempertahankan jamaah.

Anak-anak penerus generasi diberikan fasilitas terbaik, ibu-ibu dirutinkan untuk bertemu dalam forum kajian, seminimal mungkin untuk tetap saling menyambung tali silaturahmi. Berkaca dari mereka, perjuangan kita belum seberapa. Berdakwah di negeri mayoritas muslim bolehlah terbilang mudah, namun di Jepang, butuh ekstra dana dan tenaga. Shubarashii!

Semoga selalu ada banyak kesempatan untuk bisa kembali ke Tokyo, rasanya seperti punya keluarga baru. Apalagi kalau jodohnya ada di Tokyo. Hah, jodoh? Ada-ada saja.

Mu'allimin dalam angka


Mendidik Sejak

0
0

Tahun Berdiri

0

Jumlah Pelajar

0

Komunitas Siswa

Informasi PPDB Tahun Ajaran 2025/2026

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2025/2026 Gelombang 1 masih dibuka sampai dengan 29 Oktober 2024.

00
Hari
00
Jam
00
Menit
00
Detik

© 2021 Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta