BEBERAPA hari ini, banyak orang memperbincangkan tafsir QS Al- Al-Mâ’idah, khususnya ayat 51. Ternyata, QS Al-Mâ’idah/5: 51 ini terkatit maknanya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Dan ayat-ayat tersebut, ternyata – menurut penelusuran para mufassir – memiliki Asbâbun Nuzûl.
Berikut ini hasil penelusuran penulis.
Pertama, QS Al-Mâ’idah/5: 49.
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ﴿٤٩
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS al-Mâ’idah/5: 49)
Kedua, QS Al-Mâ’idah/5: 50.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠
. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Mâ’idah/5: 50)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Ka’b bin Usaid mengajak ‘Abdullah bin Shuriya dan Syas bin Qais pergi menghadap Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk mencoba memalingkan beliau dari agamanya dengan berkata: “Hai Muhammad. Engkau tahu bahwa kami pendeta-pendeta Yahudi, pembesar dan tokoh mereka, sedang mereka tidak akan menyalahi kehendak kami. Kebetulan antara kami dengan mereka terdapat percekcokan. Kami mengharapkan agar engkau mengadilinya dan memenangkan kami dalam perkara ini. Dengan begiitu kami akan beriman kepadamu.” Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menolak permintaan mereka, dan turunlah ayat tersebut di atas (QS Al-Mâ-idah/5: 49-50) yang mengingatkan untuk tetap bepegang pada hukum Allah dan berhati-hati terhadap kaum Yahudi.
Ketiga, QS Al-Mâ’idah 5/51.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿٥١
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al-Mâ’idah/5: 51)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi, yang bersumber dari ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik Madinah) dan ‘Ubadah bin ash-Shamit (salah seorang tokoh Islam dari Bani ‘Auf bin Khazraj) terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. ‘Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri. Sedangkan ‘Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa’ itu , serta menggabungkan diri bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat ini (al-Mâ’idah/5: 51) yang mengingatkan orang yang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin mereka.
Keempat, QS Al-Mâ’idah/5: 55.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ ﴿٥٥
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS Al-Mâ’idah/5: 55)
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani di dalam kitab al-Ausath-dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal- yang bersumber dari ‘Ammar bin Yasir. Hadits ini diperkuat oleh hadits-hadits: 1. Yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari ‘Abdul Wahhab bin Mujahid, dari bapaknya, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. 2. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih melalui rawi lain, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. 3. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardiwaih yang bersumber dari ‘Ali. 4. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, dari Inu Abi Hatim, yang bersumber dari Salamah bin Kuhail. Hadits-hadits tersebut saling menguatkan. Bahwa ketika seorang peminta-minta datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu sedang shalat tathawwu’ (sunat), ia tanggalkan cincinnya dan menyerahkannya kepada si peminta-minta. Maka turunlah ayat ini (QS Al-Mâ’idah/5: 55) yang mengemukakan beberapa ciri pemimpin yang wajib ditaati.
Kelima, QS Al-Mâ’idah/5: 57.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ﴿٥٧
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS Al-Mâ’idah/5: 57)
Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu Hibban, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rifa’ah bin Zaid bin at-Tabut dan Suwaid bin al-Harits memperlihatkan keislaman, padahal sebenarnya mereka itu munafik. Salah seorang dari kaum Muslimin bersimpati kepada kedua orang itu. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS al-Mâ-idah/5: 57) yang melarang kaum Muslimin mengangkat kaum munafik sebagai pemimpin mereka.
Keenam, QS Al-Mâ’idah/5: 59.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنقِمُونَ مِنَّا إِلَّا أَنْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ ﴿٥٩﴾
“Katakanlah: “Hai ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik ?” (QS Al-Mâidah/5: 59)
Selanjutnya Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa serombongan kaum Yahudi, di antaranya Abu Yasir bin Akhthab, Nafi’ bin Abi Nafi’, dan Ghazi bin ‘Amr datang menghadap Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Kepada rasul yang mana tuan beriman?” Nabi menjawab: “Aku beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa, dan kepada apa-apa yang diberikan kepda nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun diantara mereka dan hanya kepada-Nya lah kami berserah diri.” (QS Āli’ Imrân/3: 84). Ketika Nabi menyebut nama ‘Isa, mereka mengingkari kenabiannya dan berkata: “Kami tidak percaya kepada ‘Isa dan tidak percaya kepada orang yang beriman kepada ‘Isa.” Maka Allah menurunkan ayat ini (QS al-Mâ-idah/5: 59) berkenaan dengan peristiwa tersebut. Ayat tersebut merupakan teguran kepada orang-orang yang membenci Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena beriman kepada rasul-rasul dan apa-apa yang diturunkan kepada mereka sebelumnya.
Selanjutnya, bagaimana kita seharusnya memahami makna ayatayat tersebut di atas dengan merujuk pada Asbbun Nuzulnya?
Sekilas Memahami Urgensi Asbabun Nuzul
Asbâb al-Nuzûl adalah suatu istilah yang sangat mapan di dalam kajian Islam, karena ia merupakan topik yang selalu dibicarakan oleh para ulama. Asbâb, jamak dari sabab, artinya sebab, dan nuzûl artinya turun, dalam hal ini yang dimaksud ialah turunnya firman Allah SWT Dan turunnya firman itu bisa dalam bentuk satu ayat, bisa juga dalam satu surat, terutama jika surat itu pendek seperti surat-surat pada bagian terakhir mushhaf kita yaitu Juz 'Amma, yang umumnya turun sekaligus.
Hal yang sangat menarik dan penting kita perhatikan di balik dari konsep Asbâb al-Nuzûl adalah suatu pengakuan bahwa setiap wahyu itu memiliki konteks. Artinya, wahyu tidak turun entah dari mana, akan tetapi selalu dikaitkan dengan situasi kongkret menyangkut pengalaman Nabi Muhammad s.a.w. dan umat yang beliau pimpin.
Oleh karena itu kalau kita perhatikan ada beberapa firman Allah SWT yang sangat ad-hoc atau sangat spesifik. Tentu saja hal ini kemudian menimbulkan problem, yaitu di mana letak klaim bahwa sebuah firman itu universal. Sedangkan dalam bahasa filsafat, universal berarti bahwa sesuatu itu tidak tergantung pada ruang dan waktu.
Memang ada keyakinan bahwa ajaran Islam itu universal namun turunnya kepada Nabi bersifat kontekstual. Problemnya adalah bagaimana kita melakukan generalisasi terhadap suatu firman sehingga bisa mengatasi situasi kongkretnya dan menjadi suatu pengertian yang umum. Di sinilah peran 'ibârah atau "penyeberangan". Maksudnya, ada suatu ungkapan tertentu yang baik dari segi bahasa maupun konteksnya spesifik, akan tetapi sebetulnya di balik ungkapan spesifik itu bisa ditarik pengertian umum, yaitu melalui proses 'ibârah tadi. Melalui proses itulah ditarik suatu "general understanding" dan "general norm". Dan itu kadang-kadang tidak mudah. Tetapi sebaliknya kita juga harus mengakui kenyataan bahwa setiap firman itu punya konteks. Karena itu sudah ada ide -- sejak (dari) zaman Imam asy-Syafi'i -- bahwa suatu firman yang tergantung pada suatu konteks berarti bahwa kita harus melaksanakannya dalam konteks lain dan dalam bentuknya yang lain. Yang jelas-jelas punya konteks ialah masalah hukum.
Diakui secara terang-terangan oleh para ahli hukum Islam dan ahli fiqh bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Biasanya kalau dikatakan seperti itu, yang segera tertangkap oleh kita ialah: kalau begitu hukum bisa diubah-ubah menurut ruang waktu dan tempat. Sebetulnya idenya bukan begitu. Tetapi ada suatu nilai umum (general-value) yang akan bertahan terus dan itu berlaku untuk setiap waktu dan tempat. Akan tetapi aplikasi kongkretnya akan menyangkut proses-proses dan struktur-struktur yang khusus yang tidak sama dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu waktu ke waktu yang lain.
Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan gagasan Fazlur Rahman tentang teori Double Movementnya. “Dari situasi masa kini, ke masa al-Quran diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini” Inilah perkataan puitis Fazlurrahman dalam mengungkapkan Double Movementnya dalam penafsiran al-Quran.
Metode ini diaplikasikan dalam ayat-ayat sosial dan kemanusiaan, baik berkait dengan masalah hukum, politik, ekonomi dan lain-lain. Setidaknya penjelasannya adalah sebagai berikut: Gerak Pertama (dari situasi kini ke masa al-Quran) terdiri dari dua langkah; pertama, Melakukan tahap pemahaman tekstual al-Quran dan konteks sosio-historis ayat-ayatnya (task of understanding).
Langkah ini mensyaratkan adanya pemahaman secara makro mengenai situasi kehidupan Arabia baik sisi kehadiran Islam di Mekkah, adat istiadat ataupun masyarakatnya. Langkah kedua melakukan generalisasi.
Pada tahap ini perlu dilakukan upaya generasasi atas jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio-legis yang sering dinyatakan.
Yang perlu di perhatikan di sini adalah bahwa selama proses ini perhatian harus diberikan ke arah ajaran al-Quran, sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum, yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya.
Sedangkan Gerak Kedua (dari masa al-Quran diturunkan ke masa kini). Dalam bahasa mudahnya adalah bagaimana membumikan sebuah tujuan ayat al-Quran yang pada masa diturunkan berlaku secara spesifik ke dalam konteks kekinian. Tentunya hal ini dengan berupaya memahami pesan moral yang tertuang dalam ayat al-Quran tersebut. Sehingga terjadi penegasan sebuah tujuan ayat pada konteks sosio-historis masa sekarang. Namun di sini Fazlurrahman menekankan pula pentingnya koreksi atas penafsiran pemahaman pertama. Dengan demikian jika pemahaman pada gerakan pertama gagal diaplikasikan pada pemahaman gerakan kedua maka tentunya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi masa kini atau kegagalan dalam memahami al-Quran.
Sumber: Asbabun Nuzul, KHQ Shaleh, dkk.
(Dikutip dan diselaraskan dari https://alquranmulia.wordpress.com/...)