Mu’allimin, Yogyakarta - Pada hari Kamis, 2 November 2023 Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta melaksanakan Parenting Webinar yang diikuti oleh seluruh civitas akademika Madrasah Mu’allimin-Mu’allimat, orang tua siswa, dan terbuka untuk umum. Pemateri pertama pada kegiatan tersebut, adalah Prof. Dr. H. Reza Indragiri Amriel, M.Crim., M.Sc.,Ph.D yang merupakan ahli psikologi forensic, konsultan sumberdaya manusia, dan dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK. Beliau merupakan orang Indonesia pertama yang mendapat gelar Master Psikologi Forensik dari Universitas Melbourne, Australia. Selanjutnya pemateri kedua adalah Ibu Dyah Puspitarini, S.Pd.,M.Pd yang merupakan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ketua sub-komisi Advokasi KPAI dan Dosen di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Dalam pemaparanya Prof. Reza menyampaikan secara detail kronologi versi guru yaitu selang beberapa menit, Azan dhuhur berkumandang seorang guru Bernama Akbar mengajak siswa yang Tengah nongkrong di gerbang untuk shalat di Mushola , tetapi tidak ada yang mau bergerak dan mengikuti ajakanya. “mereka hanya diam dan lanjut mengobrol” cerita pak Akbar. Setelah tiga kali mendapatkan penolakan, Ia masih berusaha mengajak siswa-siswa shalat, tapi menurutnya tidak ada yang beranjak. “anak yang tidak mau ini, salah satunya korban. Korban kemudian menatap saya dengan tajam”, ujar Akbar. Ia kemudian mengambil beberapa tindakan untuk mendisiplinkan muridnya. “Awalnya saya ambil sebilah bambu untuk hanya menakuti saja, agar siswa bangun untuk melakukan shalat, hingga mereka berdiri bambu hanya mengenai tas ransel korban”, akunya. Karena mereka masih diam maka pak Akbar mencolek siswa dengan tangan. Saat itu, korban (A) masih menatap Akbar dengan sorotan tajam. “Saya lalu colek bagian lengan dan Pundak A dengan tangan, seperti cubit sedikit. Dua tiga kali saya colek begitu,” ujarnya. Sedangkan versi otoritas penegak hukum yaitu versi penyidik, awalnya korban diajak shalat berjamaah oleh guru Akbar tapi siswa tidak mau. Justru anak ini seperti menantang gurunya dengan tatapan mata. Agar anak-anak mau shalat, pak Akbar berupaya menakuti dengan bambu dan terkena tas ransel korban. Guru selanjutnya memukul ringan hingga terkena bagian leher korban. “Terdakwa mengakui melakukan pemukulan dengan kepalan tanganya” dan terdapat “memar” di leher siswa dari hasil visum et repertum kata kasi Pidana Umum (Pidum) Kejari Sumbawa Barat.
Berdasarkan perspektif hukum yaitu UU 35/2014 Pasal 76C : “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.” Apabila melanggar pasal tersebut, maka penjelasanya pada Pasal 80 : setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/denda paling banyak Rp. 76.000.000,00 (tujuh puluh enam juta rupiah). Namun dalam implementasinya masih diupayakan atau tergantung dari analisis berupa alasan pembenar maupun alasan pemaaf dari keluarga korban (Restorative Justice) atau biasa dikenal dengan jalur kekeluargaan. Dalam perspetif psikologi untuk menafsirkan fenomena (berdasarkan kronologi) maka terdapat empat kemungkinan yaitu; 1) guru menghukum murid yang tidak shalat (perilaku terkontrol), 2) guru menghukum siswa agar berhenti nongkrong (perilaku terkontrol), 3) guru menghukum siswa memperlihatkan otoritas (regain control) denagn (perilaku terkontrol), 4) guru menghukum siswa karena akibat ekpresi marah karna terprovokasi bersifat ledakan emosional (perilaku tidak terkontrol) maka kesimpulan dalam eskalasi hukuman yaitu perilaku terkontrol menyebabkan perilaku tidak terkontrol. Rekomendasi dari fenomena ini adalah agar tidak terjadi hal yang serupa adalah sekolah hendaknya memiliki iklim sekolah dan kelas yang kondusif berkaitan dengan hukuman (insden) yang tidak berlarut-larut untuk penanganya lengkap dengan piranti hukuman (tersistem) bagi yang melanggarnya. Hal ini menyangkut definisi dan kategori pelanggaran lengkap dengan tipe sanksi. Upaya ini harus didukung oleh pendataan dan pelaporan yang reliable dengan sistem evaluasi berkala.
Menurut pemaparan pemateri kedua yaitu Ibu Dyah menampilkan data Pengaduan Kasus Pemenuhan Hak dan Perlindungan Khusus Anak periode bulan Januari – September 2023 menunjukkan jumlah pengaduan 1738 yang terbagi 1309 (75,3%) media online, 292 (16,8%) secara langsung, 57 (3,3%) melalui email, dan 80 (4,6%) melalui surat. Kemudian presentase sebaran korban tertinggi berasal dari Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Barat dengan presentase 22,8 % dan Provinsi DKI Jakarta dengan presentase 22,6 %. Sebaran korban pada kota/kabupaten dengan resentase tertinggi ada di wilayah Jabodetabek. Kota Jakarta Selatan sebagai kota/kabupaten dengan presentase tertinggi 6,5 % dengan aduan 158 dan kedua adalah kota Jakarta Timur yitu 6,1 % dengan adual 126 merupakan data yang masuk pada KPAI. Beliau juga menjelaskan terdapat ragam bentuk kekerasan yang didefinisikan secara terperinci dalam permendikbudristek PPKSP yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan. Kemudian bentuk-bentuk kekerasan tersebit secara umum dilakukan secara fisik, verbal, non verbal, dan melalui media teknologi dan informasi (termasuk daring/online).
Sekolah harus menjadi Lembaga yang terdepan dalam memberikan perlindungan anak karena setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan Pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesame peserta didik, dan/atau pihak lain (Pasal 9 ayat 1a UU 35/2014). Selanjutnya juga dijelaskan dalam Pasal 54 ayat 1, UU 35/2014 yaitu anak dalam satuan Pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesame peserta didik, dan/atau dari pihak lain. Menyikapi hal tersebut maka hendaknya sekolah dapat melakukan beragam upaya untuk mencegah kekerasan yaitu, 1) adanya layanan pengaduankekerasan bagi siswa untuk melaporkan secara aman dan terjaga kerahasiaanya, 2) bekerjasama dan berkomunikasi aktif antara siswa, orang tua, dan guru (3 Pilar Sekolah Ramah Anak), 3) memberikan bantuan bagi siswa yang menjadi korban dengan kebijakan anti kekerasan yang dibuat Bersama siswa, 4) pendidik dan tenaga kependidikan memberikan suri tauladan yang baik untuk membangun iklim yang positif di sekolah, 5) memastikan sarpras yang terdapat di sekolah tidak mendorong anak berperilaku kekerasan, 6) adanya penggalakan program anti kekerasan di satuan pendidikan yang melibatkan siswa, guru, orang tua, alumni, dan Masyarakat/lingkungan sekitar satuan Pendidikan. (EkoPras)