Ulama-ulama besar, sedang, dan kecil, dari jaman Imam Abu Hanifah yang mendunia hingga Tengku Imum Syiek–di kampung saya tinggal sekarang–saya pikir sepakat terhadap satu hal. Bahwa laki-laki yang telah punya pikiran bisa membedakan baik dan salah, hampir-hampir wajib untuk sembahyang di masjid berjama’ah. Semalas dan sesusah apapun, kita para lelaki diminta untuk menyeret kaki-kaki kita yang berat untuk menapak teras masjid.
Bahkan, jika saya tidak salah, Rasul pernah menceritakan jika manusia itu tahu apa yang menunggunya di kehidupan setelah mati jika manusia berjamaah subuh, maka dengan merangkak pun, manusia akan menjamah masjid melalui belantara gelap subuh.
Tapi sayangnya kehidupan setelah mati tak terlihat di hadapan mata yang sekarang. Sehingga seringnya, masjid tidak menjadi favorit bagi sebagian kaum laki-laki. Pun dengan saya yang ketika sadar–itupun hanya sesekali–mendatangi masjid untuk berjama’ah. Seringnya tidak.
Dan ini adalah cerita tentang tiga laki-laki yang selalu ada di barisan saf, saat saya sadar, di masjid megah di kampung saya yang bersahaja, Masjid Baitul A’la. Percayalah, ketiganya akan membawa pada satu kesamaan.
Wak Jamal—laki-laki dengan salah satu kaki yang tidak sempurna. Entah yang kanan atau yang kiri, saya tidak ingat. Pernah suatu saat, kami hanya berdua di masjid itu. Mengurut garis tangan kehidupan beliau hingga sampai saat ini.
Dari penuturannya, uwak satu ini memang terlahir seperti itu. Namun diperparah dengan kecelakaan yang menimpanya saat masih jadi tukang becak dua puluh tahunan yang lalu. Walaupun tidak selalu, tapi laki-laki Melayu ini sering ada di barisan saf. Lhokseumawe jadi tempat tinggalnya selama beberapa puluh tahun belakangan, setelah pergi dari asalnya di Tanjung Balai dan merantau ke Medan. Dan akhirnya, Kebun Sawit milik anak tirinya–yang dikelolanya–mengantarkannya ke kampung di pucuk gunung perbatasan Kabupaten Bener Meriah ini.
Apa Him—laki-laki berperut besar, berbahasa Indonesia lancar. Tujuh hari dalam satu minggu, jarang ada subuh yang lolos dari adzannya. Pernah ada jamaah, tapi lebih sering sendiri. Meski begitu, suaranya tidak pernah berhenti mengumandang di TOA masjid yang keras dan bising. Waktu membersamainya pulang usai jamaah—tentu saat saya sadar jamaah—dia bertanya kapan saya balik lagi ke Jawa. Disambung dengan gurau, bahwa tauke pinang itu mau balik juga ke Jawa. Seperti dahulu lagi, saat sewindu usianya dihabiskan di Jakarta berjualan asongan.
Bang Ja’ar. Saya tidak tahu nama aslinya. Prediksi saya adalah Ibnu Hajar. Ja’ar berasal dari suku kata terakhir dari namanya. Bisa jadi salah. Abang satu ini memang tidak sering di barisan saf. Itu karena, perantau Tanjung Balai inipun tidak tinggal di kampung bersahaja kami. Hanya sesekali datang karena istrinya yang orang asli kampung sini. Tapi jika laki-laki yang punya bekas luka akibat cambuk Polisi Malaysia saat jadi imigran gelap ada di kampung ini, maka masjid selalu disambanginya saat masuk waktu sembahyang.
Kesamaan antara ketiga orang itu adalah perantau. Saya tidak mengatakan bahwa merantau membuat laki-laki menjadi rajin berjamaah. Tidak, sama sekali tidak. Tapi selalu, merantau membuka mata tentang kehidupan yang luas dan tidak hanya selebar daun lumbu. Dan mungkin jika mata terbuka, ada kesadaran yang didapat. Kesadaran tentang apapun, dan mungkin sembahyang jamaah salah satunya.
Karena itu, jangan merantau–atau mungkin sebaliknya!
Oleh: Latif Mustofa. Penulis merupakan Pengajar Muda angkatan VII pada program Indonesia Mengajar (2014) dan alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (2007).