BAGI penggemar ‘pertunjukan wayang kulit’, pasti mengenal istilah Tancep Kayon. Arti sebenarnya adalah: “menancapkan kayon”, yaitu wayang yang merupakan simbol gunungan. Makna simbolisnya adalah perpindahan adegan, misalnya, dari kisah para ksatria Pandawa menjadi kisah para Kurawa.
Namun tancep kayon juga bisa bermakna ‘pertunjukan selesai’. Penonton ‘harus’ pulang dengan kesan masing-masing. Karena wayang adalah gambaran “bhuwana alit” atau dunia yang kecil, dalam “bhuwana agung” atau kisah keseharian umat manusia, begitu banyak ada kisah yang silih berganti. Namun, intinya (substansinya) ‘tetap’, yaitu perang antara kebenaran dan ketidakbenaran.
Lakon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polisi Republik Indonesia (Polri) – misalnya — hanyalah sebuah contoh. Tokohnya banyak, yang mendompleng ‘ingin’ menjadi tokoh juga banyak. Di satu sisi ada AS, BW, APD dan Z dan di sisi lain ada BG dan kawan-kawannya. Di seberangnya ada Presiden, Ketua Partai, Para Menteri dan sejumlah Pemangku Kepentingan. Lalu di antara dua sisi itu ada ‘Tim Independen dan Para Pengacara’ dan masih banyak ‘pendekar’ lainnya, baik yang terang-terangan memihak salah satu maupun (secara) sembunyi-sembunyi. Kisah ini mirip dengan kisah pewayangan “Gatotkaca Winisuda” ”
Tiba-tiba tancep kayon, setidaknya diniatkan begitu. Lalu siapa yang benar dan salah? Tak ada yang benar-benar “jelas”, karena yang terpenting adalah: “Kecanggihan Sang Dhalang”. Tradisi pergelaran memang demikian. Penonton dibiarkan “pulang” dengan pikiran mengambang, tergantung bagaimana dia melihat pertunjukan itu. AS, BW, APP dan Z boleh saja ‘merasa galau’ karena perkara mereka sudah pasti akan berlanjut ke pengadilan. BG juga bisa saja ‘merasa menang’, karena berhasil bermain cantik (atau pun mungkin juga tidak secantik yang diharapkan). Polisi juga bisa saja merasa menang karena berhasil mendapatkan berkas (bukti-bukti) lengkap. Bahwa prosesnya di pengadilan nanti seperti apa, semua tentu bisa berkata dengan catra masing-masing, dan bahkan ada yang dengan sombongnya berkata: “Bukti sebenarnya sudah cukup dan lengkap, tetapi ada arahan agar kami tak meneruskan ke pengadilan. Ini bukan salah kami.”
Jadi kasus KPK versus Polisi ini – misalnya -- seperti pagelaran wayang kulit, yang bisa berakhir di awang-awang. Penonton yang kritis — karena itu jarang ada orang kritis nonton wayang kulit — yang ingin ada kemenangan dan kekalahan mutlak akan kecewa berat.
Kayon sudah ditancapkan. Tetapi pertunjukan dengan kisah yang lain pasti akan menyusul karena begitulah dunia wayang. Sebentar lagi akan muncul lakon, dan masih banyak lagi. Ini jadi pertunjukan menarik karena pasti penuh dengan dinamika. Kata sederhananya: “serang-menyerang”. Tak mustahil, dengan alasan demi ketertiban masyarakat, kasusnya akan ditutup dengan gaya pergelaran wayang kulit, tancep kayon. Orang yang tak suka wayang kulit sulit sekali menerima kenyataan kenapa tontonan itu harus dipelototi semalam suntuk, begitu lamban.
Persis dengan lakon di dunia nyata, penyelesaiannya amat lamban. Kita kehilangan banyak waktu. Nah, ke mana kita harus berguru tentang “masalah ketegasan, kecepatan, dan kepastian?” Kita masih punya banyak ‘panggung teater, tidak ‘Cuma’ gaya pagelaran wayang kulit. Termasuk di dalam kisah-kisah sarat hikmah dalam kitab suci al-Quran, yang bisa kita ambil sebagai ‘ibrah (pelajaran yang berharga) yang luar biasa. \
Ibda’ bi nafsik!
Ngadisuryan - Yogyakarta, Selasa - 18 Oktober 2016
Sumber : Tulisan Ust.Drs.H.Muhsin Haryanto.,M.Ag. (Alumni Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Dosen UMY)