ADA sebuah pertanyaan dari salah seorang ‘Santri Malam Selasa’ (Seorang Santri Pengajian Pimpinan Pusat Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, yang diselenggarakan setiap Malam Selasa di Aula Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, yang beberapa saat yang lalu ‘saya’ pernah terlibat sebagai nara sumber): “Kenapa orang ‘harus’ ribut dengan orang lain karena beda pendapat? Apakah hal ini mengindikasikan bahwa kita masih bersikap kekanak-kanakan?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus menoleh ke belakang dulu, seraya bertanya: “Apakah setiap orang boleh berbeda pendapat dengan cara melecehkan orang lain?” Tentu saja jawabnya: “tidak!”. Kita harus saling menghargai dan -- bahkan -- menghormati. Termasuk kepada orang yang berbeda pendapat dengan diri kita.
Berbeda pendapat itu ‘wajar’. yang tidak wajar adalah: “berbeda pendapat dengan cara melecehkan, merendahkan atau bahkan menghina orang lain.”
Dengan bebeda pendapat dan saling menghargai, atau bahkan menghormati, “perbedaan pendapat” itu -- bahkan -- terasa indah. Atau, kalau kita bisa berdiskusi dengan terbuka dan jujur, seraya bersikap rendah hati (baca: tanpa kesombongan), bukan tidak mungkin ‘kita’ akan menemukan ‘titik-temu’ yang sangat beragam, dan memangkas ‘titik-potong’ yang tidak sedikit. Akhirnya, kita pun bisa mengambil hikmahnya.
Kenapa harus risau dengan ‘perbedaan pendapat’, kalau perbedaan itu justru akan berdampak baik bagi diri kita karena kearifan kita masing-masing?
Mari kita mulai bersikap dewasa untuk bersedia ‘berbeda pendapat’, dengan siapa pun, kapan pun dan di mana pun, dengan tetap ‘menjaga semangat persaudaraan kita’.
Ibda’ bi nafsik!
Ngadisuryan - Yogyakarta, Ahad - 16 Oktober 2016