Jika kita perhatikan menusia beriman yang tawaf mengelilingi Ka’bah sepanjang jam, siang malam tanpa henti, sepanjang tahun, batin kita merasa bahagia betapa damainya umat Islam yang datang dari berbagai bangsa dan kawasan itu. Tetapi, tuan dan puan kemudian harus mengelus dada bahwa perdamaian itu hanya berlaku saat berada di dekat Ka’bah.
Setelah pulang ke tanah air masing-masing, umat yang tawaf itu kembali lagi dimainkan oleh para elite bangsanya masing-masing. Sentuhan Ka’bah sebagai pusat spiritual dunia Islam sirna begitu saja, sikap khusyuk ketika tawaf mengitari Ka’bah hilang tak berbekas setelah kembali ke lingkungan kultur masing-masing yang telah tercemar. Maka,quo vadis peradaban Islam?
Lalu, apa jalan keluarnya? Resepnya sederhana saja. Pertama, tinggalkan dan tanggalkan atribut-atribut ciptaan sejarah sebagai buah dari perebutan kekuasaan di kalangan Muslim Arab klasik yang melahirkan sunnisme, syi’isme, kharijisme, dan cicit-cititnya yang telah berkubang dalam sengketa dan perpecahan pada bilangan kurun yang panjang.
Kedua, ajarkan pesan dua ayat di atas dan ayat-ayat lain yang senada kepada anak didik tingkat dasar dan menengah bahwa persengketaan dan perpecahan di kalangan orang beriman adalah pengkhianatan terhadap Alquran. Bagi saya, sunnisme, syi’isme, dan kharijisme sebagai produk politik kekuasaan harus ditumbangkan, diganti dengan sebuah Islam yang setia kepada Alquran dan kepada kenabian: Islam yang sejati. Jika otak kita bersih dan hati kita bening, saya tidak melihat kesulitan apa pun untuk melangkah ke jurusan yang benar itu.
Tanpa terciptanya sikap radikal dan revolusioner semacam ini, peradaban Islam yang adil dan asri yang sering diimpikan dan diwacanakan itu sebagai antitesis terhadap peradaban sekuler dan ateistik yang menyesakkan napas sekarang ini tidak akan pernah turun ke bumi kenyataan. Atau kita mohon saja kepada Allah agar generasi kita yang gagal ini diganti dengan generasi lain yang tidak bahlul seperti kita.
Bukan mengada-ada kemungkinan ganti generasi ini. Alquran memberi isyarat untuk itu, seperti terbaca pada potongan ayat 38 dalam surat Muhammad (47) yang artinya, “Dan jika kamu berpaling, Allah akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain selain kamu, kemudian mereka tidak seperti kamu (yang gagal).”
Isyarat semacam ini semestinya menjadi cambuk bagi kita yang hidup sekarang ini untuk mengoreksi diri secara jujur, terbuka, dan tulus. Dengan cara ini kita akan menjadi sadar bahwa kelakuan menyimpang atas nama golongan, mazhab, dan aliran yang merusak persaudaraan kita selama ini harus diluruskan dan dibetulkan secara berani dengan menjadikan Alquran sebagai hakim tertinggi. Buang jauh-jauh subjektivisme latar belakang yang memicu sengketa, permusuhan, dan gesekan sesama kita sekian ratus tahun yang tidak lain selain berawal dari kultur rebut kuasa duniawi.
Kemungkinan membangun peradaban bersendikan wahyu sangat terbuka. Manusia modern yang tengah putus tali jangkar transendentalnya tidak semakin bahagia. Bahkan sedang bergerak ke arah hari-kiri yang mencemaskan. Kearifan global telah lama sirna. Manusia sebagai homo sapiens belum kunjung muncul di kalangan orang yang mengaku beragama ataupun yang tidak beragama.
AJ Toynbee dengan sangat menarik menulis tentang sosok homo sapiens ini. “Kita telah memilih label untuk jenis kita, bukan homo faber, manusia si teknisi, tetapi homo sapiens, manusia si bijak. Kita belum layak menyandang gelar kehormatan homo sapiens itu. Sebegitu jauh, kearifan yang kita tunjukkan dalam mengawasi diri kita dan dalam mengatur hubungan antara satu sama lain, sedikit sekali. Sekiranya kita berhasil bertahan hidup bersama revolusi teknologi sekarang ini, pada akhirnya bolehlah kita menjadi homo sapiens dalam hakikat dan dalam nama.” (Lihat AJ Toynbee, Surviving the Future. New York-London: Oxford University Press, 1973, halaman 44).
Sejarawan Inggris ini bersikap skeptik dengan arus modernitas yang dangkal dan sepi dari dimensi spiritualitas. Modernitas, tulis yang lain, telah menindas gagasan besar tentang Tuhan selama ratusan tahun. (Redaksinya tidak persis, tetapi kandungannya sama). Pertanyaannya adalah, kapan lagi umat yang mengaku beriman dan berimam kepada nabi dan rasul yang bertugas menebarkan “rahmat bagi alam semesta” (QS surat al-Anbiya': 107) mau bangkit dari tidur nyenyaknya selama sekian abad?
Tipe manusia homo sapiens semestinya lahir dari rahim mereka yang punya klaim serbabesar dan dahsyat dalam sejarah. Pertanyaan quo vadis peradaban Islam harus diganti dengan pernyataan: ini kami datang dengan peradaban baru yang segar dan adil buat semua, di dalamnya bumi dan langit telah berdamai dalam sebuah keseimbangan yang rapi dan elok. Allahu a’lam.
Oleh: Ahmad Syafi’i Ma’arif. Penulis adalah Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan alumnus Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (1956). Tulisan pernah dimuat di Republika, 7 April 2015.
Sumber : http://anakpanahinstitute.org/quo-vadis-peradaban-islam-ii/