“Selepas Mu’allimin saudara mau mengabdi di mana?” Itu pertanyaan Pak AR Fachruddin yang susah saya jawab. Pertanyaan itu terlontar ketika saya mengantar beliau pulang ke rumahnya di Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta (sekarang jadi Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah), selepas memberikan kuliah subuh di aula Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta sekitar tahun 1983-an. Ketika itu saya kelas lima. Kata beliau “satu dua tahun mengabdi dulu setelah itu melanjutkan”. Ternyata pasca lulus Mu’allimin saya memilih melanjutkan kuliah di Teknik Sipil ketimbang “mengabdi” di Persyarikatan. Maafkan saya Pak AR!
Tidak hanya saya yang ditanya seperti itu, banyak kawan-kawan Mu’allimin yang minta tanda tangan ijazah ke rumah beliau mendapat pertanyaan yang sama, Pertanyaan yang wajar dari Ketua Umum Muhammadiyah kepada siswa Mu’allimin sebagai kader persyarikatan. Sebagian besar kawan langsung melanjutkan kuliah dan tidak mengabdi dulu beralasan karena bekal yang didapat di Mu’allimin belum cukup untuk terjun ke masyarakat. Zaman telah berubah, pendidikan yang lebih tinggi dibutuhkan. Itu apologi para siswa Mu’allimin. Namun bagaimanapun juga Mu’allimin adalah sekolah kader Persyarikatan di bawah Pimpinan Pusat Muhamamdiyah, seharusnya alumninya mengabdi sebagai kader persyarikatan. Titik.
Pak Djindar dan Kemuhammdiyahan
Kami sangat beruntung mendapatkan Pelajaran Tafsir dan Kemuhammadiyahan dari ideolog Muhammadiyah Bapak Djindar Tamimy (waktu itu beliau menjabat bendahara di PP Muhammadiyah). Walaupun sering jam pelajarannya kosong, tetapi ketika beliau hadir, Pak Djindar selalu mentransfer pemikiran kemuhammadiyahannya yang cemerlang. Selain belajar matan, keyakinan, dan cita cita Muhammadiyah, Pak Djindar memberikan kerangka berfikir yang menjadi latar belakang KHA Dahlan mendirikan Muhammdiyah, serta pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah sesudahnya seperti Mas Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo. Kami tidak banyak mempelajari secara mendalam struktur organisasi maupun admintrasi persyarikatan.
Pengajaran Surat al-Maun dari KHA Dahlan kepada santri santrinya kami pahami sebagai refleksi teologis atas situasi sosial yang berkembang pada waktu itu. Ketika itu kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat Indonesia masih sangat prevalen dan sinkretisme berkembang pesat. KHA Dahlan merespon situasi ini dengan mengembangkan pendidikan. Perubahan sosial menjadi kata kunci lahirnya persyarikatan Muhammadiyah. Kehadiran Muhammadiyah diharapkan menjadi agent of change.
Saya memang sangat terkesan dengan Pak Djindar, disiplin dan serius. Beliau selalu mendorong alumni Mu’allimin berdakwah kepada orang di luar muhammdiyah dan di luar islam. Baldatul thoyyibatun warobbun ghofur tidak akan pernah tercapai kalau sasaran dakwahnya berputar hanya dikalangan warga muhammadiyah. Anak panah harus melesat mencari sasaran yang sesuai dengan situasi kekinian masyarakat
Dalam mengajar tafsir Pak Djindar memulai dari membangun konstruksi berfikir tentang eksistensi manusia. Memilih surat dan ayat Al-Qur’an berdasarkan tema-tema pokok yang memberikan kesadaran kepada siswa Mu’allimin bahwa mereka adalah kader dan apa konsekuensi sebagai kader. “Apakah kamu mengira bahwa kamu diciptakan hanya untuk main-main” (QS 23:115) menjadi pembuka awal pelajaran tafsir dari Pak Djindar. Pertanyaan oratoris tentang eksistensi manusia di dunia ini: untuk apa manusia diciptakan? Ia melanjutkannya dengan ayat-ayat pilihan dari surat yang lain tentang kekhalifaan (QS 2:130) dan kehambaan manusia (QS51 : 56). Dari pengajarannya itu, terbangunlah kontruksi berfikir tentang keberadaan manusia sebagai khalifatullah filardi yang bertugas memakmurkan bumi, menjadi rahmatan lil alamin (QS 21:107) dalam kerangka beribadah kepada Allah SWT. Beliau menggambarkan hubungan ketiganya dalam kertas setensilan yang dibagikan sebagai pedoman dalam memahami Pelajaran Tafsir dan Kemuhammadiyahan. Itulah tugas dan tanggungjawab kader Mu’allimin, kata beliau.
Kerangka berfikir yang dibangun Pak Djindar dalam Pelajaran Tafsir dan Kemuhammadiyahan dengan sendirinya menginternalisasi dan mempengaruhi setiap gerak dan langkah kami. Kemampuan memimpin menjadi hal yang niscaya ada pada setiap alumnus. Bukan karena dilatih menjadi pemimpin. Tanggungjawab kekhalifahan sudah menjadi doktrin bagi setiap alumnus dalam posisi apapun: rahmatan lil keluarga, rahmatan lil RT, rahmatan lil kampung—rahmatan dimana saja, memakmurkan bumi bersifat materiil dan spiritual. Atau dalam konsepsi negara berarti mengusahakan terciptanya masyarakat yang sejahtera (walfare state) atau baldatum thoyyibatun warobbun ghofur. Dalam konteks ini, Islam sejatinya adalah agama yang harus mampu menggerakkan perubahan sosial, mendorong ummatnya selalu dinamis, berubah, dan berkembang.
Pemikiran Pak Djindar Tamimi sangat dalam. Pak Daris Tamim (kakak beliau) penah bilang kalau Pak Djindar itu Gus Dur nya Muhammadiyah. Pak Djindar pernah berkata “Suatu saat Muhammadiyah itu bisa dibubarkan kalau tujuan Islam sebagai rahmatan lil alamin sudah tercapai”, kata beliau “ Muhammadiyah itu hanya alat untuk mencapai tujuan Islam.” Secara berulang-ulang ia mengucapkan bahwa Muhammadiyah itu “hanya alat”. Saya baru memahami ucapan beliau setelah melihat perilaku anggota ormas Islam dalam merespon situasi di masyarakat yang tak mencerminkan pengertian hakikat mereka berorganisasi. Mudah tersinggung kalau ormasnya atau tokoh ormasnya dihina, namun diam seribu bahasa melihat kemungkaran, kemaksiatan merajalela, tidak peduli terhadap kemiskinan, saling berebut jabatan, tak ada akuntabilitas dalam kepemimpinan. Padahal ormasnya hanya alat bukan tujuan itu sendiri.
Aktifitas Saya
Pada pertengahan tahun 1984 kami dilepas sebagai alumni di Kantor PP Muhammadiyah Jalan KHA Dahlan. Kondisi umat Islam pada waktu itu sedang mulai berbenah dari keterpurukan politik setelah dpojokkan dengan isu Islam ekstrim. Kalangan kelas menengah Islam yang terdiri dari para akademisi dan aktifis organisasi berupaya untuk keluar dari stigma negatif akibat berbagai kasus seperti “komando jihad”, Negara Islam Indonesia (NII), kasus Tanjung Priok dsb. Pada masa sekitar itu ada deklarasi dari kalangan tentang kebangkitan umat Islam Indonesia. Sayapun ikut eforia dengan mengikuti berbagai diskusi, ceramah agama dengan nara sumber dari kalangan cendikiawan muda Muslim seperti Dr. Nurcholis Majid, Dr. HM. Amin Rais, Dr. A. Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, Dr. Hidayat Nataatmaja, Adi Sasosno dll. Sebagai alumnus Muallimin saya tertarik mengikuti diskusi di berbagai kampus dan masjid yang menghadirkan para cendikiawan muda muslim dengan tema-tema yang sangat menarik.
Buku “Tugas Cendikiawan Muslim” karya Ali Syariati (cendikiawan Muslim Iran) yang diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Dr. HM. Amin Rais menjadi salah satu buku yang ramai didiskusikan. Buku itu menggugat bagaimana seharusnya seorang cendikiawan muslim menempatkan posisinya di tengah-tengah masyarakat. Ali syariati dan Murtadha Muthahhari banyak menginspirasi kalangan cendikiawan muslim untuk bangkit dari keterbelakangan. Saya sendiri berkesimpulan “keterbelakangan dan kemiskinan” yang melanda sebagian besar umat Islam itulah yang menjadi tugas utama seorang muslim dalam berdakwah. Tidak mungkin umat Islam mengalami kejayaannya seperti abad pertengahan yang ketika itu perkembangan sains dan teknologi umat Islam jauh mengalahkan barat kalau keterbelakangan dan kemiskinan masih menyelimuti sebagian besar umat islam. Kesimpulan itu telah membawa saya bergabung dengan gerakan pemberdayaan masyarakat yang digagas oleh aktifis LSM yang dimotori Adi Sasono, Dawam Rahardjo, Utomo Danan Jaya dll.
Kontruksi berfikir yang dibangun HM. Djindar tamimi tentang tugas tanggungjawab manusia menemukan konteksnya di gerakan pemberdayaan masyarakat. Saya terlibat diberbagai kegiatan kredit mikro untuk kalangan miskin pedesaan dan perkotaan di Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) yang dimotori oleh Adi Sasono. Saya pernah menduduki posisi Sekjen Nasional PPM di masa presidiumnya Prof. Dawam Rahardjo. Dan pada tahun 2006 saya terpilih sebagai presidium nasional. PPM adalah organisasi kemasyarakatan tingkat nasional yang bergerak dibidang dakwah pembangunan melalui pendidikan alternatif, kredit mikro, teknologi tepat guna, lingkungan hidup, seni dan budaya dan memiliki jaringan di seluruh Indonesia.
Pada awal tahu 90 an saya dikirim Pak Adi Sasono (atas sponsor NGO dari Belanda) belajar manajemen kredit mikro di Grameen Bank, Bangladesh. Grameen Bank yang didirikan oleh Prof. M. Yunus (ekonoon peraih Nobel Perdamaian) adalah bank khusus untuk rakyat miskin yang berdiri pada tahun 1976. Sampai saat ini Grameen Bank telah mengentaskan lebih dari 8,6 juta rumahtangga miskin dan memiliki asset mencapai Rp 25 triliun. Apa yang saya pelajari dari Grameen Bank kemudian saya adaptasi di berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi. Saya pernah mengusulkan program kredit mikro ketika menjadi tim manajemen Majelis Ekonomi agar Muhammadiyah serius mengatasi masalah kemiskinan umat dengan masuk ke kredit mikro. Salah satunya dengan mendirikan bank sehingga program Muhammadiyah menyentuh permasalahan rakyat miskin. Mungkin kalau waktu itu KHA Dahlan mengenal kredit mikro, beliau akan menjadikan kredit mikro sebagai program gerakan selain pendidikan
Bersama aktifis PPM dan pedagang kaki lima, saya menginisiasi berdirinya Asosiasi Pedagang Kaki Lima Se- Indonesia dan menjadi Sekjen pertama. Organisasi ini sampai saat ini masih ada dan berkembang ke seluruh Indonesia. APKLI adalah lembaga yang mengadvokasi kepentingan kaum marginal perkotaan dari kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil. Saat ini saya mendirikan Coconut Center sebagai lembaga riset, pelatihan, produksi, dan pemasaran produk berbasis komoditas kelapa. Coconut Center bekerjasama dengan beberapa kementrian pemerintah daerah, dan lembaga internasional, telah mengembangkan lebih dari 200 sentra produksi di seluruh Indonesia dengan tingkat partisipasi petani kelapa mencapai 15 ribuan orang.
Tulisan ini hanya sekedar refleksi dari pengalaman yang saya kerjakan selepas dari Muallimin. Apa yang saya lakukan masih jauh dari tugas kekhalifahan untuk memakmurkan bumi yang menjadi doktrin di sekolah kader persyarikatan Mu’allimin. Banyak sekali alumni Mu’allimin yang seperti saya berdiaspora di berbagai bidang kehidupan dan bangga menjadi alumni Muallimin—walaupun secara struktural tidak aktif di persyarikatan tetapi secara kultural terikat dengan persyarikatan..
Apakah dengan demikian saya sudah bisa disebut kader persyarikatan?
Oleh: Imam Nurhidayat. Penulis merupakan alumnus Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (1984). Ia adalah Pendiri Yayasan Riset Pembangunan Indonesia (REPINDO), Direktur Coconut Center, aktifis gerakan ekonomi rakyat, dan Ketua Pengutus KSPS BMT Syuhada Yogyakarta.
Sumber : http://anakpanahinstitute.org/sebuah-refleksi-apakah-saya-sudah-jadi-kader-persyarikatan/