MENGAPA harus pesimis? Itulah kalimat pertanyaan yang sering dinyatakan oleh guru saya, Pak AR Fachruddin (Allahu Yarhamhu), di beberapa kesempatan. Kalimat itulah yang hingga saat ini menjadi pijakan hidup saya, dan berkali-kali saya sampaikan kepada para jamaah pengajian saya di berbagai kesempatan. Sebagai seorang yang ‘mengaku’ beriman, kita harus selalu optimis!
Optimisme (Sikap Optimis) merupakan keyakinan diri dan salah satu sikap baik yang dianjurkan dalam Islam. Dengan sikap optimistis, seseorang akan bersemangat dalam menjalani kehidupan, baik demi kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak.
Allah Subhânahu Wa Ta’âla telah berfirman:
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ”
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Âli ‘Imrân [3]: 139)
Optimisme merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap manusia, khususnya seorang Muslim. Karena dengan optimistis, seorang Muslim akan selalu berusaha semaksimal mungkin mencapai cita-cita dengan penuh keikhlasan karena Allah.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun – dalam hal ini -- juga pernah bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “
Mukmin (orang yang beriman) yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Pada diri masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan; 'Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu'. Tetapi katakanlah; 'lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Karena sesungguhnya ungkapan kata 'lau' (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan setan.” (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 56, hadits no. 6945)
Dari ayat dan hadis tersebut di atas, kita harus yakin, mantap, dan tidak ragu atau bimbang jika memunyai keinginan yang kuat untuk melaksanakan segala cita-cita yang sesuai dengan jalan-Nya. Allah tidak menyukai orang-orang yang berputus asa atau lemah, karena sikap yang demikian itu berpeluang untuk “membuka pintu bujuk rayu setan.”
Akan tetapi, harus juga diingat, bahwa (sikap) optimistis tanpa perhitungan dan pertimbangan yang tepat, juga merupakan sebuah ‘kekonyolan’ (sesuatu yang tidak dapat dibenarkan), yang dalam beberapa hal sangat dibenci oleh Allah. Tetapi, pada prinsipnya, sikap pesimistis merupakan halangan utama bagi seseorang untuk menerima tantangan. Orang yang (bersikap) pesimistis hampir bisa dipastikan selalu merasa bahwa hidupnya penuh dengan kesulitan. Ia selalu merasa berada dalam ketidakberdayaan dalam menghadapi masa depan, Dan sikap seperti inilah sangat dibenci oleh Allah.
Ketika kita sudah yakin, bahwa apa yang kita perjuangkan dalam hidup ini adalah ‘benar’, maka kita tak boleh surut untuk memerjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Dan, sebagai seorang yang mengaku beriman, kita tak boleh sekejap pun merasa bimbang dan ragu untuk berusaha meraihnya.
Allah SWT berfirman,
الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ ”
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS al-Baqarah [2]: 147)
Optimisme – hingga kapan pun -- sangat diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari, guna mencapai sebuah kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup di dunia dan di akhirat.
Dengan adanya sikap optimistis dalam diri setiap Muslim, kinerja untuk beramal akan meningkat dan persoalan yang dihadapi insyâallâh dapat kita selesaikan dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, kita harus yakin, bahwa doa, ikhtiar, dan tawakal harus senantiasa mengiringinya, kerena hanya dengan ‘ridha-Nya’, apa pun yang kita harapkan dapat terwujud.
Sebagai seorang yang mengaku beriman, kita harus selalu optimis dalam menghadapi segala macam persolan hidup kita. Dan, dalam hal ini, ‘Saya’, berkali-kali menegaskan dalam berbagai kesempatan, bahwa ‘ada’ enam hal yang bisa kita upayakan untuk dapat membangkitkan optimisme dalam kehidupan kita.
Pertama, temukan hal-hal positif dari pengalaman masa lalu. Kedua, tatalah kembali target yang hendak kita capai. Ketiga, pecahkan target besar menjadi target-target kecil yang segera dapat dilihat keberhasilannya. Keempat, bertawakal (berserah diri)-lah kepada Allah setelah melakukan ikhtiar (usaha). Kelima, ubahlah pandangan diri kita terhadap kegagalan. Keenam, yakinlah bahwa Allah SWT akan menolong dan memberi jalan keluar pada diri kita, dalam hal apa pun, kapan pun dan di mana pun.
Ibda’ bi nafsik.